Awal November ini memang cuaca agak tidak bersahabat. “Ibu sama Ayah berangkat dulu ya. Kalian sama Mbak Nah dulu.” Pak Kholil dan Bu Laili pun berangkat kerja.
Ketika Bu Laili selesai kerja, Pak Kholil minta maaf tidak bisa menjemput karena ada rapat penting ayang medadak di kantornya. “Ini bener-bener gak aku duga. Rapatnya begitu mendadak, Sayang.” Sesal Pak Kholil.
“Ya udah, gak apa-apa kok.” Bu Laili maklum. “Aku bisa naik taxi.
“Maaf, ya”, Pak Kholil kemudian menutup teleponnya.
Ketika Bu Laili turun di depan gang menuju rumahnya, petaka pun datang. Dia merasakan sakit di tengkuknya dan beberapa detik kemudian tak sadarkan diri. Setelah sadar, ia mendapati dirinya dalam ruangan sepi dengan seorang laki-laki berambut gondrong berbau alcohol di sebelahnya. Dia pun menyadari dirinya tidak memakai sehelai kain pun. Pemabuk itu kemudian mengeluarkan pisau dan mengancam, “kalau kau lapor pada polisi, mati kau!”. Kemudian pemabuk itu membebaskan Bu Laili yang malang itu.
Dua bulan selnjutnya, Bu Laili divonis positif hamil. Suaminya yang tidak pernah tahu masalah sebelumnya, merasa sangat bahagia mendengar berita itu, “makasih, Sayang.” Katanya. “Lala, Lili, sebentar lagi kalian punya adik baru.”
Lala dan Lili yang merasa akan tersaingi dengan adanya calon adik baru mereka, tidak senang mendengar berita tersebut.
Bu Laili sangat trauma mengingat kejadian yang menimpa dirinya. Beberapa kali ia berusaha menggugurkan kandungannya itu, tapi selalu gagal. Akhirnya, pada akhir Agustus 1995 Bu Laili melahirkan putrinya yang ketiga di Puskesmas dekat rumahnya.
Kelahiran Lila yang tidak diharapkan oleh ibunya, membuatnya selalu disiksa dan dimusuhi oleh ibu dan dua saudarinya selama bertahun-tahun. Bahkan di sekolah pun, ibunya enggan untuk menjemput anak kandungnya sendiri. Pak Kholil juga sering mengingatkan bahkan memarahi istrinya, “bagaimanapun juga dia adalah aknak kandungmu. Tak seharusnya kau bicara kasar terhadapnya.”
Bu Laili juga sadar bahwa anaknya tidak pernah berbuat salah apapun, tetapi ia tidak pernah bisa menyayangi anaknya karena ia selalu mengingatkannya pada kejadian sepuluh tahun lalu yang sangat ia benci.
Setiap pagi dan sore, Lila selalu berdoa agar ibunya saying padanya. Tak pernah ia merasakan pelukan seorang ibu, tak pernah dikecup seorang ibu, tak pernah mendengar kata-kata manis dari mulut ibunya sendiri. Yang didengar hanyalah cacian, makian, dan bentakan. Yang dilihat hanyalah mimik wajah yang ganas, mengerikan, dan tak pernah senyum. Apakah itu yang dinamakan ibu? Dia selalu mendengar dari teman-temannya kalau ibu adalah peri yang cantik dan paling baik sedunia. Kata-kata itu selalu menyayat hatinya. “Ittu bukan sosok ibu yang kumiliki”, pikir Lila. Banyak pertanyaan yang melintas di pikirannya, “kenapa aku memiliki ibu yang tak sesuai dengan yang mereka bicarakan? Ada apa dengan ibuku? Apa aku bukan anak kandungnya?”. Lila selalu mengingat yang dilakukan ibunya terhadapnya dengan mata berlinang air mata.
“Pak, Ibu, Pak!” teriak Mbak Nah.
“Kenapa, Nah?”
“Ibu..Ibu pingsan, Pak.”
“Apa? Di mana?”
“Itu.. itu di dapur, Pak.”
Tanpa dibilang dua kali, Pak Kholil berlari menuju dapur dan mendapati istrinya tergeletak ttak berdaya di lantai. Lalu Pak Kholil melarikannya ke rumah sakit. Lila yang melihat Mbak Nah gugup, menanyakan apa yang terjadi. “Ada apa, Mbak?” kemudian Mbak Nah menceritakan apa yang terjadi.
Esok harinya, Lila diantar Mbak Nah ke rumah sakit menjenguk ibunya. Sesampai di rumah sakit, tak terduga, ibunya malah mengusirnya dan menjadikannya kambing hitam dari kanker rahim yang dideritanya itu.
“Aku tahu, Ibu sangat benci sama Lila. Tapi Lila tidak tahu apa salah Lila sehinggan Ibu terlalu membenci Lila. Sebelum Lila pergi dari sini, izinkan Lila untuk mencium surge Lila, Bu. Katanya Pak Guru ‘surga itu ada di telapak kaki ibu’.” Kata Lila sambil meneteskan air mata.
Semua yang ada dalam ruangan itu tercengang melihat apa yang terjadi. Setelah mencium kaki ibunya, Lila pergi meninggalkan rumah sakit. “Lila!” teriak ayahnya, tapi Lila terus berlari tanpa menghiraukan terikan ayahnya. “Aku tidak menyangka kau setega itu terhadapnya. Kau ini ibu macam apa? Hah? Apa salahnya? Dia masih kecil, belum punya dosa. Begitukah ia membalas perbuatanmu yang tidak punya malu sedikit pun? Aku sangat kecewa padamu.” Ucap Pak Kholil dengan marah dan sangat kecewa.
Bu Laili meneteskan air matanya. Kemudian dengan cepat, ia lari mengejar Lila yang sudah pergi. Di depan rumah sakit, Lila masih berjalan sambil menangis. Kemudian Bu Laili memanggil anaknya, “Lilaa..Lila.. tunggu Ibu, Nak!”
“Ibuu..” Lila berlari menuju ibunya, dan “Aaaa”. Ada sebuah mobil yang melaju dengan cepat menabrak Lila yang lengah.
“Lilaa…!” teriak ibunya. Beberapa saat kemudian, jalan sudah ramai oleh kerumunan orang. “Lila, maafin Ibu, Nak. Maafin Ibuu..”
“Ibu.. Lila saying sama Ibu.”
“Sayang, bertahan ya, Nak.”
“Bu, Lila sudah tidak kuat, Bu.” Akhirnya Lila meninggal dunia dalam pelukan ibunya.
“Lila.. jangan tinggalin Ibu, Nakk.” Bu Laili sangat menyesali perbuatannya selama ini.
No comments:
Post a Comment